Sunday, March 25, 2012

Catatan seorang pendamping,, "Jika masih ada "itu",, Pasti hancur kampung ini"



Ini cerita gw saat bertugas disebuah kampong di pelosok Kalimantan selatan. selamat memberi komentar ya:
Dimana kamu tinggal sekarang? Pastinya tidak sendirian lah, bahkan jika tinggal dihutan sekalipun *kecuali yang sedang menyendiri,, ya sebagai makhluk sosial yg selalu hidup berdampingan, manusia tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya, manusia perlu berbicara,, berdiskusi, bertukar pikiran, menanyakan sesuatu, atau perlu bantuan seseorang,, bayangkan jika kamu tinggal sendirian, kayak film "the legend" cuma sendirian, bicara sama tembok atau hewan, ya bahkan ga bisa bales bicara,, *gila kali ya,, jadi kita sebagai manusia harus hidup berdampingan satu sama lainnya,, hidup berdampingan pastinya harus rukun dan bersahaja.Ulasan tentang makluk sosial ini hanya sebagai awalan saja agar cerita yang akan saya sampaikan mudah dipahami,,


Semenjak skripsi saya dulu membahas tentang sosial masyarakat (sosmas), akhirnya pekerjaan saya sekarang pun tidak jauh dari yang berhubungan dengan sosmas. Saat ini saya sebagai pendamping program DD-corpora di daerah Kalimantan Selatan, memang bukan daerah terpencil sih, tpi dari Jakarta saja kamu harus menggunakan 2 pesawat, mulai dari pesawat besar, pindah lagi ke peswat kecil/perintis (cerita pesawat perintis, pilot, layar navigasi, dan lainnya yang ada di kokpit bisa kamu liat lho), trus harus naik mobil dari bandara ke pelabuhan, sambung lagi naik speedboat selama 2 jam, dan akhirnya harus menyusuri jalan bergelombang dengan sepeda motor selama 1 jam, sampai lah di desa dampingan saya, yang listrik hanya menyala selama 3 jam sehari, itupun dari mesin genset program PNPM desa,, ya masih disyukuri lah,, cerita sedikit dengan suasana ini, rumah-rumah di desa ini seluruhnya berciri khas rumah panggung pendek yang terbuat dari kayu. Yang ga enaknya rumah kayu ini, kalo jalan di dalamnya pasti bunyi,, apalagi kalo bangun malam-malam buat "kebelakang" pasti satu rumah bangun,, karena tidak banyak penduduknya seperti dikota, jarak antar rumah ini cukup berjauhan, ya setidaknya ada jarak 2 meter, bahkan dirumah tempat saya tinggal ini hampir 10 meter jarak kanan kiri dengan tetangga. O iya di desa ini Tidak semua rumah memiliki kakus, kalo pengen "BAB" paling ga cari tempat kosong di bawah pohon getah, makanya hati-hati sekali saya kalo lewat belakang rumah masyarakat disini, takut ke injak "ranjau",, ya disyukuri lagi, rumah yang tempat saya tinggal sudah ada kakusnya, ya walaupun terpisah 5 meter dari rumah, dan airnya tidak selalu ada.. Balik lagi ke suasana desa, disini mayoritas mata pencahariannya adalah sebagai petani, baik mengolah ladang padi atau menoreh getah karet. Hanya dari itu pendapatan mereka, sebagian kecil lainnya bekerja diperusahaan tambang atau tukang bangunan. Dirumah tempat saya tinggal, termasuk rumah kayu yang cukup besar, dengan ukuran 8 x 20 meter dan tingkat 2 pula, saya sendiri tinggal disebuah paviliunnya ukuran 4 x 4 meter dengan ranjang kayu yang besar dilapisi kasur palembang warna biru. Di depan rumah ini terdapat pohon ketapang dengan dua lingkaran ranting daun yang besar bertingkat. Rumah ini menghadap ke lapangan ilalang luas yang ditengah-tengahnya ada lapangan datar untuk bermain bola.  Di dekat rumah ini terdapat masjid kecil yang jamaah sholat jumatnya tidak lebih dari 20 orang, di sebelah mesjid itu terdapat tempat penggilingan benih padi, dan dari porogram pemerintah daerah. Dibelakang rumah saya tadi terdapat rumah ukuran 3 x3 meter untuk mesin genset listrik, yang kalo dinyalakan suaranya berisik, tapi nikmatnya kalo lagi makan malam dirumah seperti makan diatas kapal klotok, akibat suara mesin,, "tok,tok,klotok,tok,tok". Dan dibelakangnya lagi ada padang dan kandang untuk penggembalaan sapi, kalo ini dari program yang saya jalankan disini.
Sebelum berangkat ke daerah ini, menurut informasi dari kantor, kalo desa-desa disini merupakan wilayah yang religius, yang masih menjunjung tinggi nilai agama, dan kebersamaan antar warganya. Walaupun dengan pendidikan mayoritas masyarakat hanya tingkat SD bahkan tidak pernah bersekolah. Bahkan anak-anak mereka dijaman yang mengusung pendidikan sebagai pengampu perekonomian. Ajaran-ajaran Islam yang mereka anut sebagian besar merupakan ajaran para nahdiyen, walaupun bercampur dengan ajaran-ajaran para habaib (habib,keturunan langsung silsilah rosululloh).

Benar saja, malam pertama tinggal di desa ini saya langsung disuguhkan dengan kegiatan 'mulud hafsi' atau membaca syair dan shalawat atas nabi. Kenapa "hafsi" karena syair yang dibaca tersebut karangan hafsi disamping banyak lagi syair-syair salawat nabi karangan ulama lainnya. Saat itu saya pikir semua orang harus baca kitab itu, akhirnya setelah orang disebelah saya menyerahkan kitab itu ke saya, mau ga mau saya ambil, dan berusaha baca syair dan salawat itu yang bertuliskan arab dengan terbata-bata, saya baru tau setelahnya jika tidak harus semua orang yang baca,, tapi ga apa-apa, jadi pengalaman saya. Kegiatan agama lainnya seperti mauludan kelahiran nabi, peringatan isra miraj, pengajian malam bulan ramadhan, haulan/tahlilan, selamatan/manakib, dan shalawatan. 3 kegiatan terakhir, hampir setiap minggu ada saja masyarakat yang mengadakan, o iya acara mulud hapsi tadi itu diadakan setiap minggu lho dan berpindah-pindah rumah. Dengan adanya kegiatan-kegiatan tersebut masyarakat jadi sering berkumpul, banyak yang sering dibahas selain pelaksanaan inti kegiatan itu. Dengan kegiatan agama tadi masyarakat masih terlihat kompak, religius, dan sangat bersahaja. Sayangnya berbanding terbalik dengan amalan yaumiyahnya *sunah jadi wajib, wajib jadi sunah.

Anak usia 12 tahun ke bawah, setiap hari mengikuti kelas madrasah, yang diajar langsung oleh satu-satunya guru mereka yang juga sebagai penjaga masjid, orang di sini memanggilnya "kaum". Yang ikut madrasah ini mudah-mudahan akan menjadi anak yang baik-baik dan soleh. Selain dari kegiatan keagaman, desa ini sangat akrab dengan kerja bakti, mulai dari kegiatan perbaikan jalan, perbaikan sarana masjid, mengambil kayu bakar dan masak-masak untuk pengantenan atau peringatan hari besar agama. Saat diumumkan melalui pengeras suara dimasjid, atau informasi dari mulut ke mulut tak heran semua bersiap untuk hadir, ya semua akan hadir, karena suatu saat mungkin giliran yang lain yang akan meminta bantuan,, juga pada kegiatan pertanian, saat musim tanam tiba, atau musim panen padi, petani selalu meminta bantuan baik itu saudara atau warga yang lainnya, baik untuk nanam, juga untuk panen,, dengan jumlah antara 5-10 orangg (disesuaikan dengan luas lokasi) ke ladang, dan tanpa harus dikomando sudah tahu tugas masing-masing. Misal kalau lagi musim tanam, mulai dari yang nugal (membuat lubang tanam), menaruh benih, dan membersihkan rumput-rumput. Perbaikan jalan, baik dari program desa melalui dana pemerintah atau swadaya masyarakat, wuih tumpah ruah, satu hari full semua turun kerja sama-sama. Program dampingan, ya seperti kerjaan saya ini, awal mula yang baik, kompak, kerjasama oke, semuanya berjalan dengan prinsip kebersamaan,, (Y)

Setelah lebih dari 9 bulan saya menetap disini, perlahan ada sesuatu yang berbeda yang muncul di sini, ada sesuatu yang berubah dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat diatas tadi, memang tidak semua berubah, ada sesuatu yang jika terus-menerus dimunculkan dan tidak adanya koreksi dan perubahan sikap akan terjadi kehancuran. Coba dirunut dan dibahas dari beberapa bagian, dulu kampung ini religius, dengan adanya kegiatan-kegiatan tadi, dan tempat berkumpul warga setiap minggunya, akhirnya kegiatan itu sekarang sudah tidak ada, kegiatan mulud hafsi atau salawat nabi, ya walaupun bukan sebagai indikator utama menilai religiusitas, tapi dari sisi sosial dengan tidak adanya kegiatan ini, intensitas pertemuan masyarakat semakin berkurang dan hubungan antar sesamanya akan semakin jauh dan sulit untuk memahami satu sama lain. Hal lain adalah ketika semua sudah bernilai uang, bayangkan ketika harus kerja bakti harus ada upahnya, hal ini akan mengurangi keikhlasan dan pemaknaan dari kerja bakti itu. Tapi ya syukurlah tidak semua kerja bakti, yang dinilai dengan uang itu hanya program jika program pemerintah yang memang pada dasarnya sudah ada anggarannya. Perubahan-perubahan tersebut tidak hanya terjadi pada kebiasaan atau kearifan lokalnya saja tapi pada sikap mereka. Point sikap ini yang terlihat cukup banyak berpengaruh, misal dalam program Dompet Dhuafa, masalah-masalah kelompok mungkin saja terjadi, tinggal menggiatkan komunikasi dan penyelesaian, justru yang lebih besar muncul adalah selalu mengusung perbedaan pendapat, selalu membanggakan pekerjaan sendiri dan meremehkan pekerjaan orang lain kurang, dan sayangnya perbedaan pendapat tadi baik itu usulan atau kritikan tidak disampaikan ke orang-orang yang bersangkutan, malah membicarakan dengan orang lain. Bagaimana orang yang dikritik itu mau merubah jika dia saja tidak tahu apa kritikan untuknya. Dan yang lebih menjerumuskan adalah uang atau kekayaan, kampung ini berada disekitar areal tambang dan untuk memenuhi produksi banyak lahan-lahan masyarakat yang dibeli perusahaan bahkan dengan harga tinggi, namun tidak semua masyarakat memiliki tanah yang bisa dijual, sehingga hanya beberapa orang saja yang terlihat memiliki kekayaan berlebih setelah menjual tanah atau dari berbisnis tanah. Saya melihat hal ini bahwa masyarakat lainnya kemudian muncul keinginan yang sama untuk memiliki kekayaan yang lebih tapi tidak mampu sehingga muncul rasa iri, dan dari rasa itu muncul pula rasa negatif terutama terhadap saingannya, sehingga apapun hal positif yang dimunculkan dirasa selalu negatif. Dan yang sudah memiliki kekayaan yang lebih mulai menunjuk diri dikondisi masyarakat lain yang justru jauh dibawah. Hal ini lah yang dapat merusak hubungan mereka. Contoh kasus akibat rusaknya hubungan, misalnya masalah pengadaan listrik dari bantuan pemerintah, pada awalnya sudah berjalan baik sekitar 3 minggu, tetapi karena adanya ketidaksepakatan antar masyarakat terkait masalah biaya dan lainnya, listrik ini pun harus mati selama 1 bulan menunggu seluruhnya sepakat. Selama berlangsung masa off ini yang muncul justru bukan penyelesaian, tapi komentar-komentar negatif dan saling menyalahkan, tanpa adanya komunikasi dan membangun kesepahaman.

Terkadang masyarakat punya pandangan sendiri tentang suatu program atau suatu hal yang baik, mereka sangat mendukung bahwa "hal itu baik, harusnya begitu, kan begini lebih bagus, dst" komentar-komentar itu sepertinya enak didengar dan ada dukungan tapi nyatanya adalah Mendukung tapi tidak turut serta, berkomentar setuju tapi tidak ikut, berpendapat dan menyarankan yang bagus tapi tidak dijalankan. Termasuk sikap bahwa terkadang masyarakat merasa bangga dengan seseorang, merasa hebat dengan apa yang dilakukan, tapi juga mencela hal lain yang dikerjakan, padahal mungkin sebuah kekhilafan. Ya Memuji tapi mencela. Sekali lagi, jika hal-hal ini terus muncul akan merusak hubungan antar masyarakat tadi yang pada akhirnya akan mengganggu suasana kampung dan pada akhirnya yang muncul adalah individualistis. Untuk itu saya sebagai pendamping sangat berharap agar masalah-masalah yang mengganggu hubungan tadi tidak terus muncul. Masyarakat harus lebih sering mengusung persamaan daripada perbedaan, harus lebih bersykur dengan apa yang diperoleh, lebih giat bekerja daripada berbicara, dan dengan penuh kesabaran mempertahankan kebersamaan. Tidak lupa hal yang dilakukan orangtuanya saat ini, baik itu hal positif atau negatif akan berdampak pada anaknya yang akan menjadi generasi setelahnya,, semoga kampung ini tidak dalam kehancuran, dan justru dipenuhi keberkahan,, (dek)

No comments:

Post a Comment