Ini cerita gw saat bertugas disebuah kampong di pelosok Kalimantan selatan. selamat memberi komentar ya:
Dimana
kamu tinggal sekarang? Pastinya tidak sendirian lah, bahkan jika tinggal
dihutan sekalipun *kecuali yang sedang menyendiri,, ya sebagai makhluk sosial
yg selalu hidup berdampingan, manusia tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya,
manusia perlu berbicara,, berdiskusi, bertukar pikiran, menanyakan sesuatu,
atau perlu bantuan seseorang,, bayangkan jika kamu tinggal sendirian, kayak
film "the legend" cuma sendirian, bicara sama tembok atau hewan, ya
bahkan ga bisa bales bicara,, *gila kali ya,, jadi kita sebagai manusia harus
hidup berdampingan satu sama lainnya,, hidup berdampingan pastinya harus rukun
dan bersahaja.Ulasan tentang makluk sosial ini hanya sebagai awalan saja agar
cerita yang akan saya sampaikan mudah dipahami,,
Semenjak
skripsi saya dulu membahas tentang sosial masyarakat (sosmas), akhirnya
pekerjaan saya sekarang pun tidak jauh dari yang berhubungan dengan sosmas.
Saat ini saya sebagai pendamping program DD-corpora di daerah Kalimantan Selatan,
memang bukan daerah terpencil sih, tpi dari Jakarta saja kamu harus menggunakan
2 pesawat, mulai dari pesawat besar, pindah lagi ke peswat kecil/perintis
(cerita pesawat perintis, pilot, layar navigasi, dan lainnya yang ada di kokpit
bisa kamu liat lho), trus harus naik mobil dari bandara ke pelabuhan, sambung
lagi naik speedboat selama 2 jam, dan akhirnya harus menyusuri jalan
bergelombang dengan sepeda motor selama 1 jam, sampai lah di desa dampingan
saya, yang listrik hanya menyala selama 3 jam sehari, itupun dari mesin genset
program PNPM desa,, ya masih disyukuri lah,, cerita sedikit dengan suasana ini,
rumah-rumah di desa ini seluruhnya berciri khas rumah panggung pendek yang
terbuat dari kayu. Yang ga enaknya rumah kayu ini, kalo jalan di dalamnya pasti
bunyi,, apalagi kalo bangun malam-malam buat "kebelakang" pasti satu
rumah bangun,, karena tidak banyak penduduknya seperti dikota, jarak antar
rumah ini cukup berjauhan, ya setidaknya ada jarak 2 meter, bahkan dirumah
tempat saya tinggal ini hampir 10 meter jarak kanan kiri dengan tetangga. O iya
di desa ini Tidak semua rumah memiliki kakus, kalo pengen "BAB"
paling ga cari tempat kosong di bawah pohon getah, makanya hati-hati sekali
saya kalo lewat belakang rumah masyarakat disini, takut ke injak
"ranjau",, ya disyukuri lagi, rumah yang tempat saya tinggal sudah
ada kakusnya, ya walaupun terpisah 5 meter dari rumah, dan airnya tidak selalu
ada.. Balik lagi ke suasana desa, disini mayoritas mata pencahariannya adalah
sebagai petani, baik mengolah ladang padi atau menoreh getah karet. Hanya dari
itu pendapatan mereka, sebagian kecil lainnya bekerja diperusahaan tambang atau
tukang bangunan. Dirumah tempat saya tinggal, termasuk rumah kayu yang cukup
besar, dengan ukuran 8 x 20 meter dan tingkat 2 pula, saya sendiri tinggal
disebuah paviliunnya ukuran 4 x 4 meter dengan ranjang kayu yang besar dilapisi
kasur palembang warna biru. Di depan rumah ini terdapat pohon ketapang dengan
dua lingkaran ranting daun yang besar bertingkat. Rumah ini menghadap ke
lapangan ilalang luas yang ditengah-tengahnya ada lapangan datar untuk bermain
bola. Di dekat rumah ini terdapat masjid
kecil yang jamaah sholat jumatnya tidak lebih dari 20 orang, di sebelah mesjid
itu terdapat tempat penggilingan benih padi, dan dari porogram pemerintah
daerah. Dibelakang rumah saya tadi terdapat rumah ukuran 3 x3 meter untuk mesin
genset listrik, yang kalo dinyalakan suaranya berisik, tapi nikmatnya kalo lagi
makan malam dirumah seperti makan diatas kapal klotok, akibat suara mesin,,
"tok,tok,klotok,tok,tok". Dan dibelakangnya lagi ada padang dan
kandang untuk penggembalaan sapi, kalo ini dari program yang saya jalankan
disini.
Sebelum
berangkat ke daerah ini, menurut informasi dari kantor, kalo desa-desa disini
merupakan wilayah yang religius, yang masih menjunjung tinggi nilai agama, dan
kebersamaan antar warganya. Walaupun dengan pendidikan mayoritas masyarakat
hanya tingkat SD bahkan tidak pernah bersekolah. Bahkan anak-anak mereka dijaman
yang mengusung pendidikan sebagai pengampu perekonomian. Ajaran-ajaran Islam
yang mereka anut sebagian besar merupakan ajaran para nahdiyen, walaupun
bercampur dengan ajaran-ajaran para habaib (habib,keturunan langsung silsilah
rosululloh).
Benar
saja, malam pertama tinggal di desa ini saya langsung disuguhkan dengan
kegiatan 'mulud hafsi' atau membaca syair dan shalawat atas nabi. Kenapa
"hafsi" karena syair yang dibaca tersebut karangan hafsi disamping
banyak lagi syair-syair salawat nabi karangan ulama lainnya. Saat itu saya
pikir semua orang harus baca kitab itu, akhirnya setelah orang disebelah saya
menyerahkan kitab itu ke saya, mau ga mau saya ambil, dan berusaha baca syair
dan salawat itu yang bertuliskan arab dengan terbata-bata, saya baru tau
setelahnya jika tidak harus semua orang yang baca,, tapi ga apa-apa, jadi
pengalaman saya. Kegiatan agama lainnya seperti mauludan kelahiran nabi,
peringatan isra miraj, pengajian malam bulan ramadhan, haulan/tahlilan,
selamatan/manakib, dan shalawatan. 3 kegiatan terakhir, hampir setiap minggu
ada saja masyarakat yang mengadakan, o iya acara mulud hapsi tadi itu diadakan
setiap minggu lho dan berpindah-pindah rumah. Dengan adanya kegiatan-kegiatan
tersebut masyarakat jadi sering berkumpul, banyak yang sering dibahas selain
pelaksanaan inti kegiatan itu. Dengan kegiatan agama tadi masyarakat masih
terlihat kompak, religius, dan sangat bersahaja. Sayangnya berbanding terbalik
dengan amalan yaumiyahnya *sunah jadi wajib, wajib jadi sunah.
Anak
usia 12 tahun ke bawah, setiap hari mengikuti kelas madrasah, yang diajar
langsung oleh satu-satunya guru mereka yang juga sebagai penjaga masjid, orang
di sini memanggilnya "kaum". Yang ikut madrasah ini mudah-mudahan
akan menjadi anak yang baik-baik dan soleh. Selain dari kegiatan keagaman, desa
ini sangat akrab dengan kerja bakti, mulai dari kegiatan perbaikan jalan,
perbaikan sarana masjid, mengambil kayu bakar dan masak-masak untuk pengantenan
atau peringatan hari besar agama. Saat diumumkan melalui pengeras suara dimasjid,
atau informasi dari mulut ke mulut tak heran semua bersiap untuk hadir, ya
semua akan hadir, karena suatu saat mungkin giliran yang lain yang akan meminta
bantuan,, juga pada kegiatan pertanian, saat musim tanam tiba, atau musim panen
padi, petani selalu meminta bantuan baik itu saudara atau warga yang lainnya,
baik untuk nanam, juga untuk panen,, dengan jumlah antara 5-10 orangg
(disesuaikan dengan luas lokasi) ke ladang, dan tanpa harus dikomando sudah tahu
tugas masing-masing. Misal kalau lagi musim tanam, mulai dari yang nugal
(membuat lubang tanam), menaruh benih, dan membersihkan rumput-rumput.
Perbaikan jalan, baik dari program desa melalui dana pemerintah atau swadaya
masyarakat, wuih tumpah ruah, satu hari full semua turun kerja sama-sama.
Program dampingan, ya seperti kerjaan saya ini, awal mula yang baik, kompak,
kerjasama oke, semuanya berjalan dengan prinsip kebersamaan,, (Y)
Setelah
lebih dari 9 bulan saya menetap disini, perlahan ada sesuatu yang berbeda yang
muncul di sini, ada sesuatu yang berubah dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat
diatas tadi, memang tidak semua berubah, ada sesuatu yang jika terus-menerus
dimunculkan dan tidak adanya koreksi dan perubahan sikap akan terjadi
kehancuran. Coba dirunut dan dibahas dari beberapa bagian, dulu kampung ini
religius, dengan adanya kegiatan-kegiatan tadi, dan tempat berkumpul warga
setiap minggunya, akhirnya kegiatan itu sekarang sudah tidak ada, kegiatan
mulud hafsi atau salawat nabi, ya walaupun bukan sebagai indikator utama
menilai religiusitas, tapi dari sisi sosial dengan tidak adanya kegiatan ini,
intensitas pertemuan masyarakat semakin berkurang dan hubungan antar sesamanya
akan semakin jauh dan sulit untuk memahami satu sama lain. Hal lain adalah
ketika semua sudah bernilai uang, bayangkan ketika harus kerja bakti harus ada
upahnya, hal ini akan mengurangi keikhlasan dan pemaknaan dari kerja bakti itu.
Tapi ya syukurlah tidak semua kerja bakti, yang dinilai dengan uang itu hanya
program jika program pemerintah yang memang pada dasarnya sudah ada
anggarannya. Perubahan-perubahan tersebut tidak hanya terjadi pada kebiasaan
atau kearifan lokalnya saja tapi pada sikap mereka. Point sikap ini yang
terlihat cukup banyak berpengaruh, misal dalam program Dompet Dhuafa,
masalah-masalah kelompok mungkin saja terjadi, tinggal menggiatkan komunikasi
dan penyelesaian, justru yang lebih besar muncul adalah selalu mengusung
perbedaan pendapat, selalu membanggakan pekerjaan sendiri dan meremehkan
pekerjaan orang lain kurang, dan sayangnya perbedaan pendapat tadi baik itu
usulan atau kritikan tidak disampaikan ke orang-orang yang bersangkutan, malah
membicarakan dengan orang lain. Bagaimana orang yang dikritik itu mau merubah
jika dia saja tidak tahu apa kritikan untuknya. Dan yang lebih menjerumuskan adalah
uang atau kekayaan, kampung ini berada disekitar areal tambang dan untuk
memenuhi produksi banyak lahan-lahan masyarakat yang dibeli perusahaan bahkan
dengan harga tinggi, namun tidak semua masyarakat memiliki tanah yang bisa
dijual, sehingga hanya beberapa orang saja yang terlihat memiliki kekayaan
berlebih setelah menjual tanah atau dari berbisnis tanah. Saya melihat hal ini
bahwa masyarakat lainnya kemudian muncul keinginan yang sama untuk memiliki
kekayaan yang lebih tapi tidak mampu sehingga muncul rasa iri, dan dari rasa
itu muncul pula rasa negatif terutama terhadap saingannya, sehingga apapun hal
positif yang dimunculkan dirasa selalu negatif. Dan yang sudah memiliki
kekayaan yang lebih mulai menunjuk diri dikondisi masyarakat lain yang justru
jauh dibawah. Hal ini lah yang dapat merusak hubungan mereka. Contoh kasus
akibat rusaknya hubungan, misalnya masalah pengadaan listrik dari bantuan
pemerintah, pada awalnya sudah berjalan baik sekitar 3 minggu, tetapi karena
adanya ketidaksepakatan antar masyarakat terkait masalah biaya dan lainnya,
listrik ini pun harus mati selama 1 bulan menunggu seluruhnya sepakat. Selama
berlangsung masa off ini yang muncul justru bukan penyelesaian, tapi
komentar-komentar negatif dan saling menyalahkan, tanpa adanya komunikasi dan
membangun kesepahaman.
Terkadang
masyarakat punya pandangan sendiri tentang suatu program atau suatu hal yang
baik, mereka sangat mendukung bahwa "hal itu baik, harusnya begitu, kan
begini lebih bagus, dst" komentar-komentar itu sepertinya enak didengar
dan ada dukungan tapi nyatanya adalah Mendukung tapi tidak turut serta,
berkomentar setuju tapi tidak ikut, berpendapat dan menyarankan yang bagus tapi
tidak dijalankan. Termasuk sikap bahwa terkadang masyarakat merasa bangga
dengan seseorang, merasa hebat dengan apa yang dilakukan, tapi juga mencela hal
lain yang dikerjakan, padahal mungkin sebuah kekhilafan. Ya Memuji tapi
mencela. Sekali lagi, jika hal-hal ini terus muncul akan merusak hubungan antar
masyarakat tadi yang pada akhirnya akan mengganggu suasana kampung dan pada
akhirnya yang muncul adalah individualistis. Untuk itu saya sebagai pendamping
sangat berharap agar masalah-masalah yang mengganggu hubungan tadi tidak terus
muncul. Masyarakat harus lebih sering mengusung persamaan daripada perbedaan,
harus lebih bersykur dengan apa yang diperoleh, lebih giat bekerja daripada
berbicara, dan dengan penuh kesabaran mempertahankan kebersamaan. Tidak lupa
hal yang dilakukan orangtuanya saat ini, baik itu hal positif atau negatif akan
berdampak pada anaknya yang akan menjadi generasi setelahnya,, semoga kampung
ini tidak dalam kehancuran, dan justru dipenuhi keberkahan,, (dek)
No comments:
Post a Comment